Pemberontakan di Aceh, yang berlangsung selama puluhan tahun, merupakan bagian penting dari sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Perang Aceh, yang juga dikenal sebagai Perang Sabil atau Perang Aceh-Belanda, adalah salah satu konflik paling sengit dalam sejarah Indonesia dan berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904, dengan sisa-sisa perlawanan yang terus berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan ini mencerminkan semangat perlawanan rakyat Aceh dalam mempertahankan kedaulatan dan identitas mereka, baik sebagai bangsa maupun sebagai umat Islam.
### Latar Belakang
Aceh memiliki posisi strategis karena letaknya di ujung utara Pulau Sumatra, dekat dengan jalur pelayaran Selat Malaka yang merupakan rute dagang penting. Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh telah menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Aceh juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki identitas kuat sebagai kerajaan Islam.
Belanda mulai menaruh minat untuk menguasai Aceh pada abad ke-19 seiring dengan ambisinya untuk mengendalikan seluruh wilayah Nusantara. Namun, Kesultanan Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Kesultanan Ottoman, serta negara-negara Eropa seperti Inggris. Bahkan, perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 sempat memberikan jaminan bahwa Belanda tidak akan menguasai Aceh. Meski demikian, pada tahun 1871, Inggris dan Belanda menandatangani **Traktat Sumatra** yang memberikan izin bagi Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Aceh, sehingga membuka jalan bagi invasi Belanda.
### Penyebab Pemberontakan
1. **Ekspansi Kolonial Belanda**: Dengan adanya Traktat Sumatra, Belanda merasa berhak untuk menguasai seluruh Sumatra, termasuk Aceh, meskipun Aceh adalah kesultanan merdeka. Belanda menganggap bahwa menguasai Aceh adalah langkah penting untuk mengamankan kekuasaannya di Nusantara.
2. **Identitas Keagamaan**: Aceh adalah pusat penyebaran Islam di Nusantara, dan masyarakat Aceh memiliki identitas kuat sebagai umat Islam. Mereka menganggap perlawanan terhadap penjajah Belanda sebagai *jihad* atau perang suci, yang memperkuat semangat perjuangan mereka.
3. **Pertahanan Kedaulatan dan Wilayah**: Rakyat Aceh menolak dominasi asing yang mengancam kedaulatan wilayah dan tradisi mereka. Sultan Aceh serta pemimpin-pemimpin adat dan ulama tidak ingin tunduk pada kekuasaan kolonial.
### Jalannya Pemberontakan
Perang Aceh dimulai pada tahun 1873 ketika Belanda melancarkan serangan pertama mereka ke Aceh. Namun, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang sangat keras dari rakyat Aceh, yang bersatu di bawah panji agama dan kesultanan. Perlawanan ini dipimpin oleh sultan Aceh, para panglima perang, dan ulama-ulama setempat, yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Aceh.
#### Gelombang Pertama: 1873-1874
Belanda memulai invasi pertamanya pada tahun 1873 dengan mengirimkan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler. Namun, perlawanan sengit dari rakyat Aceh berhasil memukul mundur pasukan Belanda, dan Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran. Ini adalah pukulan besar bagi Belanda, yang merasa telah meremehkan kekuatan militer Aceh.
#### Gelombang Kedua: 1874-1880
Pada tahun 1874, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Aceh, dan berhasil menduduki ibu kota kesultanan, Banda Aceh. Sultan Aceh, Sultan Mahmud Syah, terpaksa mundur dan memimpin perlawanan dari pedalaman. Meskipun Belanda mengklaim telah menaklukkan Aceh, perlawanan rakyat Aceh justru semakin meluas dengan strategi perang gerilya yang dipimpin oleh para pemimpin lokal dan ulama.
#### Fase Perang Gerilya dan Peran Ulama: 1880-1904
Setelah kesultanan Aceh kalah dalam pertempuran terbuka, mereka mengubah strategi menjadi perang gerilya yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Para ulama, seperti **Teungku Chik di Tiro**, memimpin perang gerilya dan menginspirasi semangat jihad untuk melawan penjajah Belanda. Perang ini berlarut-larut dan sangat menyulitkan pihak Belanda.
Pemerintah kolonial kemudian mengirim Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam, untuk mempelajari cara menghancurkan perlawanan Aceh. Snouck memberikan saran agar Belanda memisahkan kaum ulama dari masyarakat dengan cara-cara propaganda dan menekan tokoh agama. Strategi ini sebagian berhasil, namun tetap tidak mampu sepenuhnya meredam perlawanan Aceh.
### Akhir Pemberontakan dan Perlawanan Sisa
Pada awal abad ke-20, Belanda mulai menerapkan kebijakan yang lebih represif dan melakukan serangan besar-besaran ke kantong-kantong perlawanan Aceh di pedalaman. Pada tahun 1904, sebagian besar wilayah Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda, namun perlawanan dari rakyat Aceh terus berlanjut dalam skala kecil, baik melalui gerilya maupun perlawanan budaya. Rakyat Aceh tetap menjaga semangat kemerdekaan mereka meskipun secara resmi berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
### Dampak dan Warisan Pemberontakan Aceh
Perang Aceh memiliki dampak besar bagi Belanda dan rakyat Aceh. Bagi Belanda, perang ini memakan biaya yang sangat besar dan menguras sumber daya militer mereka. Pemberontakan ini juga menimbulkan luka mendalam di pihak Belanda dan masyarakat Aceh, serta menginspirasi perjuangan kemerdekaan di seluruh Indonesia.
Di pihak Aceh, perlawanan ini menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati dalam mempertahankan kedaulatan. Semangat jihad yang diusung oleh rakyat Aceh menjadi bagian penting dari identitas budaya mereka dan terus hidup hingga masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Aceh dikenang sebagai salah satu daerah yang paling gigih dalam menolak penjajahan dan menjadi inspirasi bagi perlawanan rakyat di daerah lain di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Aceh diberi status daerah istimewa sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan rakyatnya yang tak kenal lelah melawan penjajah.