Media Baru dan Cara Kita Mengonsumsi Informasi

Dalam dua dekade terakhir, dunia media mengalami pergeseran besar. Dari era koran cetak dan televisi analog, kini kita hidup di tengah gelombang media digital yang serba cepat dan saling terhubung. Melalui platform-platform seperti Portal Narasi, publik kini bisa mengakses informasi dari berbagai penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Namun kemudahan ini datang dengan konsekuensi: banjir informasi, polarisasi opini, dan krisis kepercayaan.

Kini, siapa pun bisa menjadi penyebar berita. Satu cuitan bisa viral, satu video bisa memicu perdebatan nasional. Di satu sisi, ini adalah demokratisasi informasi. Tapi di sisi lain, batas antara fakta dan opini, antara jurnalisme dan propaganda, semakin kabur. Apa yang sebenarnya terjadi pada lanskap media kita?

Evolusi Media: Dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Dulu, media adalah menara gading. Hanya segelintir institusi besar yang punya wewenang menyampaikan berita ke masyarakat luas. Redaksi bekerja sebagai penjaga gerbang informasi, dengan proses verifikasi yang ketat dan tanggung jawab etis yang tinggi. Namun sekarang, semua orang punya akses untuk menerbitkan sesuatu. Informasi menyebar bukan dari satu pusat, melainkan dari jutaan titik.

Model lama perlahan tergeser. Jurnalisme tak lagi eksklusif milik wartawan profesional. Kita menyaksikan munculnya citizen journalism, konten independen, dan kanal informasi alternatif. Beberapa membawa angin segar berupa perspektif baru, namun sebagian lain justru memperparah kebingungan publik karena minimnya verifikasi.

Di tengah semua ini, kepercayaan menjadi mata uang paling berharga. Media yang mampu menjaga integritas, keakuratan, dan konteks dalam setiap beritanya perlahan membangun kembali kredibilitas. Media yang terburu-buru mengejar klik dan sensasi justru kehilangan audiens yang jenuh dan lebih kritis.

Peran Media Lokal dan Komunitas

Satu tren menarik adalah kembalinya peran media lokal. Di tengah hiruk-pikuk narasi global, masyarakat ternyata rindu pada informasi yang dekat, relevan, dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Media lokal kembali mendapat tempat—bukan hanya sebagai penyampai berita, tapi sebagai pengikat komunitas.

Liputan tentang jalan rusak, nasib petani, atau perubahan iklim di desa kecil justru mendapat resonansi lebih besar karena dirasakan langsung dampaknya. Beberapa komunitas bahkan mulai membentuk media independen mereka sendiri, berbasis kebutuhan lokal dan disusun secara kolektif.

Di sinilah nilai saromben mulai terasa relevansinya. Dalam budaya Sulawesi Tengah, saromben merujuk pada kerja sama dan keterlibatan semua pihak demi satu tujuan bersama. Ketika nilai ini diadaptasi dalam konteks media, lahirlah bentuk jurnalisme kolaboratif—di mana masyarakat bukan hanya menjadi objek berita, tetapi juga subjek yang aktif mengawasi, menyuarakan, dan bahkan ikut memproduksi konten.

Konsep ini membuka ruang bagi bentuk media yang lebih adil dan berimbang. Media bukan hanya milik korporasi besar, tetapi bisa menjadi alat kolektif untuk mengangkat suara yang selama ini tak terdengar—warga pelosok, pekerja informal, komunitas adat, atau kelompok rentan lainnya.

Tantangan Media di Era Digital

Meskipun media digital membuka banyak peluang, tantangannya tak kalah besar. Salah satu isu utama adalah algoritma. Platform media sosial kini menjadi pintu utama konsumsi berita. Tapi algoritma mereka didesain untuk mempertahankan perhatian, bukan untuk mendidik atau menyeimbangkan sudut pandang.

Akibatnya, berita yang emosional, ekstrem, atau kontroversial cenderung lebih viral. Ini memperkuat ruang gema (echo chamber), di mana seseorang hanya terpapar pada pendapat yang serupa, dan menolak pandangan berbeda. Dalam jangka panjang, ini bisa memperparah polarisasi sosial.

Selain itu, tekanan ekonomi juga membuat banyak media terjebak pada model bisnis jangka pendek: mengejar trafik demi iklan. Judul provokatif, berita setengah matang, dan laporan dangkal sering kali jadi strategi bertahan hidup. Ini membuat jurnalisme mendalam dan investigatif makin langka, padahal di situlah fungsi kontrol sosial media seharusnya berada.

Masa Depan Media: Kembali ke Nilai Dasar

Meski tantangannya kompleks, masa depan media tetap punya harapan. Salah satunya melalui pendekatan berbasis nilai. Media yang bertahan bukanlah yang paling besar, tetapi yang paling dipercaya. Kredibilitas, transparansi, dan keberpihakan pada kebenaran akan menjadi diferensiasi utama.

Media seperti Portal Narasi menunjukkan arah yang menarik: mereka tidak sekadar memberitakan, tapi juga membangun narasi yang berimbang, menggugah empati, dan mendorong keterlibatan publik. Mereka meramu konten dengan pendekatan yang lebih humanis—tidak hanya melaporkan apa yang terjadi, tapi juga mengapa itu penting, siapa yang terdampak, dan bagaimana solusi bisa diciptakan.

Keterlibatan audiens juga menjadi kunci. Banyak media kini membuka ruang diskusi, menyerap masukan dari pembaca, bahkan menjadikan komunitas sebagai bagian dari proses editorial. Di sinilah media bukan hanya alat penyampai pesan, tapi ruang bersama untuk memahami dunia.

Penutup

Media bukan sekadar teknologi atau platform. Ia adalah cermin dari masyarakat itu sendiri—bagaimana kita melihat realitas, memahami perbedaan, dan merawat kebenaran. Di tengah banjir informasi, kita butuh panduan yang bisa dipercaya. Dan untuk itu, kita harus kembali ke nilai dasar: integritas, kolaborasi, dan keberpihakan pada kepentingan publik.

Dengan memadukan kecepatan teknologi dan semangat kolaboratif seperti saromben, serta dukungan dari kanal informasi terpercaya seperti Portal Narasi, masa depan media Indonesia bisa lebih inklusif, tangguh, dan bermakna.